Flickr

Hajinya para Kekasih Allah

Hajinya para Kekasih Allah


Hajinya para Kekasih Allah

Bagi para kekasih Allah, haji bukan sekedar ritual untuk mematangkan dan menyempurnakan ruku islam, lebih dari itu , ia merupakan kunjungan kepada sang kekasih sejati.


Panggilan haji telah bergema ke segenap penjuru dunia, panggilan ini bukan berupa genderang yang terdengar saat berperang, bukan pula tiupan terompet pada saat pergantian tahun baru. Ini langsung dari sang pencipta alam semesta, sang pemberi rahmat dan kehidpuan diseluruh jagat raya.
Jutaan umat pun menyambutnya, dari berbagai negeri mereka berbondong-bondong datang dengan berbagai cara, menuju satu titik, dengan satu tujuan satu seruan kerinduan.... “Labbaik Allahumma labbaik.. Labbaika la syarika laka labbaik...”

Ribuan malaikat Allah pun mengangkut dipundak-pundak mereka kidung jawaban para hamba Allah atas panggilan cinta, untuk di hamparkan di Arasy Laisa Kamitslihi Syaiun.

Betapa bahagianya mereka karena terpilih sbagai tamu Allah yangtertulis langsung di Lauhi Mahfudz. Bukan karena kaya, tampan ataupun berpangkat, tapi karena taqwa dan percaya akan Allah Yang Esa.

Mereka bukan saja akan mencium Hajar aswad, mengitari Ka’bah, dalam luapa cinta yang mendalam, mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil haram.

Tapi mereka jug akan shalat berjamaah dengan semua Nabi dan rasul dan segenap para awliya, jin-jin mukmin-muslim, bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari, yang semuanya bertasbih.

Siapapun yang pernah merasakan kehangatan kasih sang Khaliq, pastilah ingin senantiasa berkunjung ke rumah-Nya, dan rasa inilah yang senantiasa menyelimuti hati hamba-hamba-Nya yang shalih, yang tinggi derajat taqwanya, serta sangat dekat dengan Allah, dialah para kekasih Allah.

Bagi mereka , haji bukan sekedar ritus untuk menyempurnakan rukun islam , melainkan lebih dari pada itu, sebuah kunjungankepada sang Kekasih Sejati.

Sebagiamna dijelaskan oleh seorang sufi pada abad pertengahan Islam (1000-1250M) asal Nishafur, Iran. Syaikh Abu Qasim Al-Qushairi, dalam kitabnya. Lathaif Al-Isyarah,

Ibadah haji laksana emngunjungi rumah seorang sahabat, bahkan kekasih, tujuanya bukanlah rumah itu, melainkan pemilik rumah itu sendiri.

Demikian pula dengan manasik haji, bagi para sufi dan wali, mempunyai arti tersendiri, Misalnya berangkat dari tanah ke tanah sucu Mekkah bukan semata-mata berangkat menginggalkan rumah menuju Baitullah, melainkan yang lebih penting lagi meninggalakan semua perbiatan yang mengakibatkan dosa.

Ihram pun demikian, mereka tidak hanya memakai pakaian yang tidak dijahit, tapi lebih dari itu, melepaskan atribut kemanusiaan, dan menganggap manusia sederajat dihadapan Tuhan, kecuali dalam taqwa kepada-Nya.

Wuquf dan bermalam dipadang Arafah, yang dipandang sebagai inti ritus ibadah haji bagi para kekasih Allah, merupakan momen uuntuk mengalami kehadiran Tuhan dan menyaksikan tanda-tandanya. Hal yang sama juga berlaku saat wuquf di Muzdalifah yang secara simbolis merupakan upaya untuk melepaskan diri dari hawa nafsu.

Demikian pula dengan wuquf dimina, ia simbol diri untuk rela meninggalkan segala pernak-pernik kemewahan duniawi, dan kehendak diri yg tercela.

Ketika sampai di peziarah yg tergabung dalam kelompok haji berthawaf mengelilingi ka’bah, rumah Tuhan yang dibuat oleh Nabi Ibrahim A.S.
Bagi para kekasih Allah, Ka’bah adalah simbol arah dan penunjuk menuju jalan Tuhan.

Thawaf adalah simbol cinta dan kasih sayang. Ia adalah gerakannyang menunjukan kepemilikan diri manusia kepada Pusat Perputaranya, makna thawaf hanya dapatdiraih oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran sejati, yakni para ‘arifin (mereka yang mengenal Tuhan) dan muwahhid (orang yang meng-esakan Tuhan dengan benar).

Tentang sai antara Safa dan Marwah, berlari kecil dari Bukit Safa bermakna bahwa seorang peziarah haji mendaki untuk meraih kesucian batin dan pertemuan dengan Tuhan melalui cahaya ilmu pengetahuan. Sementara, Bukit Marwah merupakan pendakian menuju penyucian ruh melalui jalan pertaubatan.

Berkaitan dengan melempar jumrah, para kekasih Allah itu memandang bahwa manasik merupakan upaya untuk melemparkan jauh-jauh pikiran dan kehendak yang mementingkan diri sendiri dari hati dan pikiran.

Begitu juga dengan dhahiyyah (ber qurban), yang secara formal adalah menyembelih binatang kurban, bagi para kekasih Allah itu merupakan upaya untuk mengurbankan keinginan-keinginan pribadi untuk meraih cinta dan kedekatan dengan Ilahi Rabbi.

Mereka melaksanakan setiap rukun ibadah haji dengan segenap jiwa dan perasaanya. Berharap-harap cemas, bahkan was-was, jangan-jangan Sang Kekasih menolak cintanya, seperti yang dialami oleh Imam Ali Zainal Abidin RA, cicit Baginda Nabi Muhammad SAW.

Ketika itu ia hendak mengenakan pakaian Ihram, tiba-tiba saja wajahnya memucat, bibirnya pun gemetar, tidak bisa mengucapkan kalimat Talbiyah, Orang-orang disekitarnya dibuat heran, hingga ada salah satu yang memberanikan diri untuk bertanya.

“Wahai dzuriyyat Rasulullah, mengapa tuan tidak mengucapkan ‘Labbaik’ saat permulaan ihram ?”

Imam Ali RA menjawab,
“Aku sangat takut, jangan-jangan dijawab ‘La Labbaik’ (Kehadiranmu tidak diterima).”

Setelah itu Imam Ali RA mencoba mengucapkan “Labbaik” dengan beratnya, sampai-sampai ia jatuh pingsan dan terjatuh dari untanya.

Setelah siuman, ia mencoba mengucapkan ‘Labbaik’. Lagi-lagi, ia pingsan.
Begitu seterusnya hingga amalan haji lainya disempurnakan dalam keadaan seperti itu.

Dalam buku Hajinya Para Kekasih Allah , karya Syaikh Muhammad Zakariyya, dikisahkan, seorang waliyullah, yang tinggal di Makkah selama 70 tahun, setiap tahunnya menunaikan ibadah Haji atau Umrah dan mengucapkan “Labbaik”, ia mendapatkan jawaban “La labbaik”.

Suatu ketika ada seorang pemuda yang memulai ihram bersamanya .
Ketika sang wali mendapatkan jawaban “La labbaik:, si pemuda itu juga mendengarnya.

Si pemuda itu berkata,
“Wahai Syaikh, engkau mendapat jawaban ‘La labbaik’? ”.

Sang Wali bertanya. “Apakah engkau juga mendengarnya.? “
“Ya aku mendengarnya.”

Mengetahui hal itu sang wali menangis dan berkata,
“Wahai pemuda, sudah 70 tahun aku mendengar jawaban seperti itu.”

Sang pemuda bertanya dengan penuh tanda tanya.
“Lalu mengapa Paman selalu bersusah payah seperti ini? “

“Wahai pemuda, pintu siapa lagi yang harus aku ketuk kalau bukan pintu-Nya? Dan mau pergi kemana lagi selain kepada-Nya? Tugasku hanyalah berusaha. Akan diterima atau ditolak, itu terserah Dia, Hanya karena masalah ini, tidaklah baik seorang hamba lari daari rumah Tuannya.”

Setelah berkata demikian, sang wali menangis dengan kuatnya sehingga dadanya basah oleh tetesan air mata.
Setelah itu ia kembali mengucapkan "La“baik" sekali lagi.

Dan ia mendengar
“Kami telah menerima kehadiranmu. Dan kamipun berbuat seperti ini kepada setiaop orang yang berkhusnudzon kepada Kami. Bukan orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, tetapi mengharapkan rahmat Kami.”

Si pemuda juga mendengar jawaban itu, maka ia berkata,
“Syaikh , apakah engkau mendengar jawaban itu?”

“Ya , aku mendengarnya,” Kata sang Waliyullah.
Kemudian ia menangis dengan kuatnya sehingga ia meninggal dunia.....



Kehausan di Tengah Hutan


Hajinya para Kekasih Allah


Dalam melaksanakan ibadah haji, bukan berarti para kekasih Allah itu bebas dari cobaan dan ujian,

Rasulullah SAW bersabda, yang intinya , cobaan bagi seorang mukmin, apabila dihadapi dengan kesabaran, akan menaikkan derajatnya disisi Allah SWT, dan ujian yang dihadapi para kekasih Allah itu bukan ujian biasa, ini sudah sebagaimana mestinya.

Makin tinggi ketaqwaan seseorang , maka makin berat ujianya. Seperti yang dialami Abu Abdurrahman Khafifi, seorang waliyullah asal Irak.

Suatu hari , ia berjalan untuk menunaikan haji, ketika sampai di Baghdad, ia berpikir layaknya seorang waliyullah, yang menunaikan ibadah haji dengan keteguhan aqidah, mujahadah, dan meninggalakan segalanya kecuali Allah SWT.

Selama 40 hari ia tidak makan dan minum, dan ia selalu menjaga wudhunya. Ia juga tidak berziarah kepada Walliyullah termasyhur dikota itu, Syaikh Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana tradisi para sufi waktu itu.

Ia terus melanjutkan perjalananya hingga melintasi perbatasan Baghdad, dan sampailah disebuah hutan.

Dihutan tersebut, ia melihat seorang rusa yang minum air sumur. Karena ia juga kehausan, ia pun mendekati sumur tersebut.

Melihat kedatangan Abu Abdurrahman Khafifi ini, rusa itu merasa terusik kemudian pergi, Sesampainya disumur, saat Abu Abdurrahman Khafifi hendak menciduk airnya, tiba-tiba air sumur itu surut, hingga tak terjangkau oleh tangan. Padahal ketika diminum rusa itu tadi, air itu naik sampai ke permukaan sehingga rusa itu bisa minum.

Dalam keadaan haus dan sedih, Abu Abdurrrahman Khafifi berkata,
“Wahai Tuhanku, ternyata kedudukanku tidak sederajat dengan seekor rusa di sisi-Mu.”

Tiba-tiba saja ada suara dari belakangnya,
“Wahai Abu Abdurrahman, Kami sebenarnya ingin mengujimu, tetapi kamu tidak sabar, dan kamu mulai mengadukan nasibmu. Pergilah ke sumur itu, dan minumlah airnya. Ketahuilah, rusa datang tanpa membawa kantung air dan tali, sedangkan kamu membawa kantung air dan tali.”

Ketika sampai dismur itu, ternyata air sumur kembali seperti semula. Abu Abdurrahman pun meminumnya sampai puas, kemudian berwudhu, setelah itu memenuhi kantong airnya, Anehnya, hingga sampai di Kota Nabi. Madinah, air itu tidak pernah habis, padahal selama dalam perjalanan airnya selalu diminum dan dipergunakan untuk berwudhu.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia pulang ke kampung halamanya melewati Baghdad, di Masjid Jami Baghdad, ia melihat Syaih Junaid Al-Baghdadi. Syaikh Junaid pun berkata kepadanya.
“Wahai Abu Abdurrahman, seandainya engkau mampu untuk bersabar, air yang engkau kantungi itu akan melimpah ruah sampai ditelapak kakimu.



Kelaparan di Masjidil Haram


Hajinya para Kekasih Allah

Cobaan lain yg dihadapi para waliyullah adalah kelaparan, tidak hanya dalam ukuran jam, tapi berhari-hari, dan sering. Namun mereka menghadapinya dengan kesabaran dan ketawakalan yang penuh....

Seperti yang dialami Syaikh Abu Ya’qub Bashri, dalam Kitab karya Syaikh Muhammad Zakariyya itu, ia bercerita :

Suatu ketika di Masjidil Haram aku mengalami kelaparan selama 10 hari, sehingga aku sangat lemah, hatiku memeksaku untuk keluar dari Masjidil Haram, barangkali aku mendapatkan sesuatu untuk dimakan.

Setelah keluar, aku mendapatkan makanan sejenis lobak yang telah dibuang ke tanah, aku pun mengambilnya, tetapi aku rasakan di dalam hatiku perasaan yang tidak enak, seperti ada yang mengatakan

“Sudah 10 hari kelaparan dan akhirnya hanya mendapatkan masakan sejenis lobak yang sudah hampir busuk”.
Oleh karena itu, aku membuangnya kembali dan kembali ke dalam masjid.

Ketika aku sedang duduk dialam masjid, mncullah seseorang yang tidak aku kenal mendatangiku dan meletakkan sebuah tas dihadapanku sambil berkata,

“Ambillah ini, didalamnya terdapat kantung kulit kecil yang berisi lima ratus dinar. Aku telah bernadzar untuk memberikannya kepadamu.”

Aku pun terheran-heran dan berkata,
“Tetapi mengapa khusus untukku ? Bukankah engkau tidak mengenalku?”

“Selama 10 hari kami tersesat dilautan, sehingga kapal kami hampir tenggelam.
Pada waktu itu, setiap orang diantara kami bernadzar, Aku bernadzar kepada Allah, jika dia menyelamatkanku, aku akan memberikan tas beserta isinya ini kepada orag yang pertama kali aku lihat diantara orang-orang yang berada di Masjidil Haram, Allah menyelamatkan kami, dan engkau adalah orang yang pertama kali aku lihat di Masjid ini.”

Aku membuka tas itu, ternyata didalamnya , selain uang yang disebutkan tadi, juga ada gula putih, roti, buah badam yang telah dikupas, dan gula merah, lalu aku mengambilnya segenggam dari masing-masing makanan itu. Sisanya aku kembalikan, dan aku berkata,

“Aku telah menerima hadiah ini, kuambil sebagia, ambillah kembali sisanya, dan bagi-bagikanlah kepada anak-anakmu.”



Berjalan Kaki

Di zaman sekarang, perjalanan haji ke Tanah Suci bisa hanya dalam hitungan jam, dan dengan trasnportasi yang nyaman serta aman, sedang dulu jarak tempuhnya sangat jauh, alat transportasinya pun masim minim, paling canggih dengan menggunakan kapal layar, dan waktunya, bisa berbulan-bulan.

Begitu pula yang dialami para kekasih Allah SWT. Demi meraih kedekatan dengan-Nysaa, mereka ada yangmengendarai unta, berjalan kaki, bahkan ada yang merangkak, karena lumph.

Seorang sufi asal Irak,Syaikh Ali bin Muwaffaq RA, bercerita :

Pada suatu hari, aku pergi haji dengan mengendarai unta. Ditengah jalan, aku bertemu orang yang berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Aku senanng melihat mereka berjalan, aku pun turun dari untaku dan berjalan kaki bersama mereka, dan aku biarkan orang lain mengendarai untaku.

Kami berjalan dijalan yang tidak bisa dilewati, Disebuah tempat, kami berhenti untuk beristirahat, didalam tidur, aku bermimpi melihat gadis-gadis mendekati kami dengan membawa air dalam wadah emas dan perak, mereka membasuh semua kaki orang yang berjalan kaki, kecuali kakiku.
Salah seorang diantara mereka berkata padaku.

“Kemari.....”

Lalu ia berbicara kepada yang lain,
“Ia adalah seorang diantara mereka.”

Yang lain menjawab ,
“Bukan, ia bukan salah seorang diantara mereka, larena ia mempunyai binatang tunggangan yang bisa dikendarai.”

Gadis itu mendesak,
“Tidak, walaupun mempunyai mempunyai kendaraan, ia memilih berjalan kaki dengan mereka.”

Kemudian mereka datang kepadaku dan membasuh kakiku sehingga seluruh keletihanku hilang.



Bertahun-tahun merangkak

Kisah yang lebih mengharukan diceritakan oleh seorang sui asal Irak, Syaikh Syaqiq Balkhi RA, ia bercerita :

Dalam perjalanan menuju makkah, aku melihat seorang yang lumpu, yang berjalan dengan merangkak.

Aku bertanya kepadanya,
“Engkau dari mana?”

Ia menjawab,
“Dari Samarkand.”

“Sudah berapa lama engkau berjalan meninggalkan Samarkand?”

“Sudah lebih dari 10 tahun.”

Aku melihatnya dengan penuh keheranan dan takjub.

Lalu ia kembali berkata,
“wahai Syaqiq, mengapa engkau melihatku seperti itu?”

“Aku takjub dengan kelemahanmu dan jauhnya perjalananmu.”

“Syaqiq, kerinduanku telah membuat perjalanan yang jauh menjadi dekat, dan kelemahanku ditanggung oleh Tuanku, Wahai Syaqiq, engkau merasa heran denga orang lemah yang dibawa oleh Allah SWT.

Wahai Tuhanku, aku sedang berjalan untuk menziarahi-Mu, dan tempat-tampat kecintaan sangat sulit untuk dicapai, akan teteapi, kerinduan akan selalu menolong orang yang tidak pernah ditolong oleh harta.

Orang yang takut binasa dijalan, bukanlah penista, dan dia bukanlah seorang pecinta yang kehendaknya dihalangi oleh kerasnya perjalanan.....”




Jalan Menuju Sang Kekasih

Sang waliyullah lainya juga bercerita :

Aku melihat Syaikh Samnun ketika melakkukan thawaf. Ia berjalan terhuyung-huyung kekanan dan ke kiri dengan penuh kegembiraan.

Aku memegang tangannya dan bertanya,
“Demi berdirimu di hadapan Allah SWT, beri tahukanlah kepadaku bagaimana agar sampai kepada Allah SWT?”

Ketika mendengar kata-kata “berdiri dihadapan Allah SWT”, ia terjatuh pingsan , dan saat sadar , ia membaca dua bait syair :

Banyak orang tertimpa musibah dan badannya penuh penyakit
Hati mereka lebih sakit dari hati orang lain

Jika mereka mati karena takut dan gentar
iItu lebih baik baginya
Karena berdiri dihadapan Allah SWT pada hari hisab sangatlah sulit

Lalu Syaikh Samnun berkata,

“Aku telah memegang lima perkara, dan aku telah mengukukhkannya dalam hatiku.

Pertama, nafsu telah aku bunuh, dan sesuatu yang telah mati, yaitu hati, telah aku hidupkan.

Kedua, akhirat. Ia kuletakkan dihadapan amataku setiap waktu. Dan sesuatu yang ada dihadapanku, yakni dunia, telah aku campakkan dari diriku.

Ketiga, Taqwa. Ia kupelihara dalam diriku. Dan sesuatu yang terkumpul dalam diriku, yakni hawa nafsu, telah aku hapuskan.

Keempat, sesuatu yang aku akrab dengannya, dan sesuatu yang jkalian senangi aku takut kepadannya.”

Pada mulanya, ia menyebutkan lima perkara, tetapi yang dijelaskan hanya empat.

Tetapi semuanya itu mempunyai pokok bahasan yang sama, yaitu bagaimana mengendalikan hawa nafsu. Itulah sebabnya, ulama mengatakan bahwa jalan menuju Allah tidak lebih dari dua langkah. Jika seseoang meletakkan kakinya yang satu di atas hawa nafsunya, yang kedua telah berada dilorong jalan menuju Sang Kekasih.



Bertemunya Para Wali

Hajinya para Kekasih Allah

Bagi sebagian waliyullah, pergi haji ke Tanah Suci pun merupakan sebuah reuni besar. Sebab , ditanah yang penuh berkah itu, tepatnya Masjidil Haram, para waliyullah, bahkan para nabi dan malaikat , senantiasa berkumpul, terutama di waktu subuh dan Jum’at, untuk shalat berjamaah.

Hal ini diungkapkan oleh Abdullah bin Shalih, seorang wali yang dikaruniai Allah nikmat-nikmat yang khusus. Ia selalu berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk lari dari manusia.
Suatu hari, sampailah ia di Makkah Al-Mukarramah, Ia tinggal di kota suci ini dalam waktu yang sangat lama.

Ia berkata kepada sahabatnya,
“Mengapa aku tidak pernah melihat kota yang banyak turun rahmat dan keberkahan didalamnya selain kota ini. Di kota ini, malaikat turun pada waktu pagi dan petang. Dikota ini , aku melihat perkara-perkara ajaib yang sangat besar. Malaikat-malaikat dengan bentuk yang berbeda-beda melakukan thawaf di Baitullah, dan hal itu terjadi terus menerus tiada henti. Seandaninya aku menjelaskan apa yang aku lihat di sini, orang yang imannya tidak sempurna, akalnya tidak akan menerimanya.”

Lalu ada seorang sahabatnya bertanya kepadanya,
“Demi Allah, wahai Abdullah bin Shalih, ceritakanlah kepadaku sebagian kecil yang telah engkau lihat disiini.”

“Tidaklah seorang wali yang telah sempurna kewaliannya, melainkan ia datang ke kota ini setiap malam Jum’at. Untuk melihat orang-orang itulah maka aku tinggal dikota ini.
Di antara mereka aku enegal porang bernama Malik bin Qasim Jili RA. Ia datang, dan dari tangannya kelauar bau daging. Lalu aku bertanya kepadanya.

“Wahai Malik, apa engkau baru makan dan langsung datang kemari?”
Ia menjawab “Astaghfirullah, sudah satu minggu aku tidak makan, Aku tadi baru saja memberi makan ibuku, lalu datang kemari, dan aku cepat-cepat kemari supaya bisa shalat shubuh berjamaah di Masjidil Haram.”

Ketahuilah, wahai sahabatku, jarak antara tempat tinggal Malik dan Makkah Al-Mukarramah adalah 2.700 mil.”

Abdullah pun kembali berkata kepada sahabatnya itu,

“Sahabatku. Apakah engkau percaya dengan kisah yang aku ceritakan ini?”

“Ya, aku percaya.”

“Syukurlah, ternyata aku telah berjumpa dengan seorang mukmin. Ketahuilah, terkadang aku melihat para malaikat, para Nabi,, dan para wali Allah berada disekitar Ka’bah. Kebanyakan mereka hadir pada malam jum’at, malam senin, dan malam kamis.”

Kita semua tahu, bahwa Melaksanakan Haji bagi yang mampu adalah salah satu rukun islam yang tentunya wajib dilakukan jika mampu, mampu disini bukan hanya dari segi fisik, melainkan mampu dari segi psikis serta materi. Ketiga faktor tersebut harus saling berdampingan jika ingin menjadi haji yang mabrur... Insya Allah.

0 Response to "Hajinya para Kekasih Allah"

Post a Comment