Flickr

Memaknai Ziarah Kubur dan Halal Bihalal



Makna Ziarah Kubur dan Halal Bihalal


Ziarah Kubur dan Halal Bihalal

Apa makna ziarah setelah berhari raya? Apa makna halal bihalal setelah hari raya?


Salah satu runtutan kegiatan idul fitri dalam masyarakat kita adalah ziarah kubur, kendati ada yang melakukanya sebelum Ramadhan, namun puncak dari tradisi ‘nyekar initerjadi pada saat hari lebaran tiba.

Sulit dijelaskan secara tekstual ikhwal fenomena masyarakat yang menjadikan ziarah kubur dilaksanakan secara massal. Apalagi menghukuminya sebagai budaya atau ritual tahunan. 

Sehingga bagi masyarakat awam, ziarah kubur dipahami sebagai rangkaian terakhir dari ibadah puasa, zakat fitrah, sholat idul fitri dan halal bihalal.

Padahal secara tekstual dan teologis, ziarah kubur didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Dulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka, sekarang berziarahlah, karena dengan hal itu akan menciptakan sikap zuhud pada dunia dan akan mengingatkan pada akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits serupa diriwayatkan juga oleh Al-Tirmidzi, Muslim, Al-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad. Dari hadits itu minimal kita dapat mengambil dua pelajaran. 

Pertama, dengan ziiarah kubur Nabi Muhammad SAW sedang mendidik masyarakat agar tidak memburu kehidupan dunia, tetapi menanamkan sikap zuhud terhadap semua kenikmatan dunia yang menipu dan melalaikan.

Allah SWT mempertegas :
“Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu, serta berbangga-bangga dengan banyaknya harta an anak....” (QS. Al-Hadid [57]: 20)

Jadi, kehidupan dunia itu hanya perhiasan, sementara, dan palsu. Sedangkan kematian itu sendiri tidak akan terelakan. Artinya semua yang kita miliki saat ini akan musnah, kecuali kebaikan yang sengaja kita tanam. 

Dengan begitu, ada kehidupan setelah kematian. Pada kehidupan setelah kematian itulah terdapat kehidupan yang sebenarnya, kenikmatan hakiki, dan kesenangan abadi. 
Untuk menggapainya, tak ada pilihan lainn, kita harus melewati pintu kematian.

Kembali Allah tegaskan :
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktu (ajal) mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS.Al-A’raaf[7]:34).

Masalahnya sekarang, sudah siapkah kita apabila kematian datang menjemput? Kita sejatinya harus selalu dalam keadaan siap. Malah, orang-orang shaleh memandang kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. 

Tetapi sesuatu yang harus disebut dengan suka cita karena kematian mengantarkan kepada Dzat yang paling dirindukan dengan penuh cinta.

Nah, sedianya ziarah kubur yang kita lakukan berbuah kesadaran akan kematian yang pasti datang. Bukan sekedar ikut-ikutan, tradisi, atau meramaikan hari raya.

Kedua, diawal hadits di atas, ada indikasi bahwa ziarah kubur pernah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW, dalam riwayat lain dijelaskan bahwa kebolehan ziarah kubur itu setelah Allah mengizinkan Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya. 

Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya,

Rasulullah SAW bersabda :
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur . Maka telah di izinkan bagi Muhammad untuk menziarahi makam ibunya. Maka sekarang kalian berziarahlah, karena hal itu akan mengingatkan kepada hari akhir” (HR. Tirmidzi).

Larangan ziarah kubur bisa dimaknai karena pada awal Islam , kondisi keberagamaan masyarakat belum mapan secara tauhid. Nabi khawatir masyarakat memandang Nabi memperbolehkan memohon kepada mereka yang telah mati dan kepada ruh, karena hal itu bisa berpotensi merusak akidah. 

Namun sejalan dengan perkembangan Islam yang terus maju, terutama masalah akidah, yang dibolehkannya Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibundanya, maka Nabi pun membolehkan ziarah kubur bagi umatnya.

Saudaraku.... larangan ziarah kubur itu masih tetap berlaku bila kita masih berkualitas seperti masyarakat yang dikhawatirkan oleh Nabi. Karena itu, mari mantapkan akidah sebelum berziarah kubur.



Memaknai Halal Bihalal

Makna Ziarah Kubur dan Halal Bihalal


Selain ziarah kubur, tradisi lain umat Indonesia, selepas sholat Idul Fitri adalah halal bihalal, yaitu saling mengunjungi dan saling minta maaf dan saling memaafkan, anak kepada orang tua, cucu kepada kakek dan nenek, adik kepada kakak, umat kepada ulama, hingga bawahan kepada atasan. 

Tidak hanya itu, halal bihalal pun digelar di berbagai tempat, Lembaga swasta dan pemerintah, kantor, dan perusahaan menetapkannya sebagai ritual tahunan pasca-lebaran yang tidak boleh ditinggalkan. 

Para agamawan mengatakan, kendati halal bihalal hanya khas Indonesia, tetapi pengaruh positifnya begitu terasa, baik secara individual maupun kelompok.

Secara Individual, halal bihalal telah mendorong seseorang untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas segala bentuk salah dan dosa. Kesediaan untuk meminta maaf ini pun kemudian diikuti dengan keikhlasan untuk memberi maaf. 

Pribadi yang tulus memaafkan orang lain, merasakan hidupnya tanpa beban. Situasi  batin yang selama ini diselimuti dendam dan sakit hati, berubah menjadi ketentraman dan penuh keteduhan.

Inilah seruan Allah :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al-Imran[3]:133-134).

Kalau kita cermati ayat diatas, cukup beralasan bila kaum Muslim bersemangat untuk mengadakan halal bihalal. Alasanya, untuk bisa meraih janji Allah berupa surga yang luasnya seluas langit dan bumi, mereka telah menebusnya dengan berpuasa, berbagi, lalu berusaha untuk menahan diri dan mengelola marah. 

Namun, tanpa saling memaafkan antar sesama, sesuai dengan ayat di atas, maka janji Allah tidak akan bisa diraih. 

Tentang pentingnya saling memaafkan ini kembali Allah menegaskan :
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raaf [7]:199).

Sedangkan secara kelompok, halal bihalal seperti makna dasarnya, yakni merncairkan yang beku, melepas ikatan yang membelenggu, dan menyelesaikan kesulitan sangat penting untuk memperbarui hubungan dan harmoni antar sesama, 

Jadi , halal bihalal merupakan ekspresi kerinduan manusia untuk saling menyayangi, mencairkan kebekuan, melepas belenggu, dan memperoleh kembali energi ruhaniah yang selama ini telah habis terkuras.

Tetapi ada yang harus kita perhatikan bahwa halal bihalal bukanlah tempat untuk memamerkan kekayaan, kemewahan, pangkat dan kedudukan, keberhasilan keluarga, termasuk keturunan. Sekiranya ini pernah terlintas di dalam benak kita, cobalah kita hindari. 

Kalau memang kita sudah berhasil, punya kedudukan dan memiliki kekayaan, sebaiknya kita bantu saudara-saudara kita. 

Makna Ziarah Kubur dan Halal Bihalal

Datangi orang-orang yang tak mampu lagi untuk bekerja, guru-guru kita dahulu, orang-orang tua, termasuk para ulama yang tetap konsisten mengajarkan agama di tengah kesulitan hidup yang mendera. 

Termasuk, bantulah Masjid dan Madrasah tempat di mana dahulu kita pernah tidur, bermain, dan belajar.


Bila ada keluarga yang anaknya putus sekolah, cobalah bantu,  atau bila ada saudara yang punya kemampuan, tetapi belum terserap pasar kerja, berilah dia kesempatan mengembangkan diri untuk bekerja di perusahaan yang kita kelola, 

Jadi , halal bihalal adalah ziarah spiritual yang berdimensi sosial. 

Tradisi lama yang penuh makna....



0 Response to "Memaknai Ziarah Kubur dan Halal Bihalal"

Post a Comment